Senin, 25 Juli 2011

Mengapa Rumah Sakit Perlu Akreditasi?

Pada dasarnya masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang bermutu dan perlindungan yang layak. Oleh karena itu, rumah sakit didalam memberikan pelayanan wajib memenuhi standar pelayanan RS. Sedangkan tenaga kesehatan di RS dalam melakukan tugasnya berkewajiban mematuhi standar profesi dan memperhatikan hak pasien.

Tuntutan masyarakat akan hak mendapatkan pelayanan yang bermutu tersebut berdampak berbagai prakarsa dalam sistem pelayanan kesehatan tertuju kepada mutu pelayanan dan pengembangan sistem evaluasi mutu pelayanan. Walaupun pada dasarnya, tidak ada pendekatan yang optimal dan yang tunggal untuk menilai dan mengevaluasi mutu pelayanan kesehatan, namun banyak negara telah menggunakan model akreditasi sebagai alat efektif untuk melakukan peningkatan mutu pelayanan.

Tiga negara terkemuka didunia di bidang akreditasi rumah sakit yaitu Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Ketiga negara tersebut telah lama mulai melakukan akreditasi rumah sakit. Sistem akreditasi pada ketiga negara tersebut tidak persis sama karena sistem akreditasi pada umumnya spesifik untuk suatu negara, disesuaikan dengan struktur dan nilai sosial, budaya, ekonomi, politik dan teknologi.

Yang perlu diperhatikan adalah, apapun sistem akreditasi yang digunakan, tujuan utama akreditasi adalah agar upaya peningkatan mutu dibudayakan dan diintegrasikan kedalam sistem pelayanan kesehatan.

Minggu, 17 Juli 2011

Pembenahan Pelayanan Rumah Sakit

MenKes
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah berupaya meningkatkan kualitas keahlian dan pelayanan dokter dan rumah sakit di Indonesia untuk menekan jumlah warga Indonesia berobat ke luar negeri.

Menteri Kesehatan Endang Rahayu mengatakan, pihaknya sedang mengupayakan bertambahnya jumlah rumah sakit (RS) berakreditasi internasional. Jenis RS ini dapat digunakan oleh warga masyarakat yang menginginkan pelayanan kesehatan premium. "Kita mulai dari RS swasta dulu," kata Menkes di Jakarta beberapa waktu lalu.
Untuk menekan biaya akreditasi itu, Kementerian Kesehatan sedang membuat sebuah lembaga akreditasi bertaraf internasional di Indonesia sehingga pihak RS tidak perlu mengeluarkan biaya tinggi untuk mendapatkan akreditasi itu.
"Dengan adanya lembaga akreditasi tersebut, diharapkan makin banyak RS bertaraf internasional di Indonesia sehingga pasien tidak perlu berobat jauh-jauh ke luar negeri, namun cukup di dalam negeri saja," katanya.
Menurut Menkes, jika ditilik dari jenis penyakitnya, kepergian orang Indonesia berobat ke luar negeri sebenarnya untuk penyakit-penyakit golongan "sepele" yang bisa diobati dokter Indonesia "sambil tutup mata" karena demikian ringannya. Bahkan, warga yang menginginkan pelayanan kesehatan ringan seperti operasi sunat, melahirkan, operasi hernia dan sekadar cek kesehatan reguler, pergi ke Singapura.
Endang Rahayu tak memungkiri dirinya juga dalam beberapa bulan terakhir ini, sering bolak-balik ke Ghuangzou, China, untuk mengobati kanker paru-paru yang diidapnya.
"Bukannya saya tak percaya dengan keahlian dokter dan rumah sakit di Indonesia. Tetapi, pilihan berobat ke China ini juga hasil konsultasi dengan dokter di Indonesia. Ada sebuah rumah sakit khusus kanker di Ghuangzhou yang berhasil mengembangkan teknologi untuk mengobati kanker," katanya.
Upaya pengobatannya ke luar negeri, kata Endang, juga telah mendapat restu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keyakinannya untuk berobat ke China juga membuahkan hasil. Hampir satu tahun setelah didiagnosis terkena kanker paru-paru, kini Menkes Endang Rahayu merasa lebih bugar dan sehat.
"Selain pengobatan, saya juga menjaga pola makan dan rajin berolahraga, terutama renang. Lebih dari tiga kali seminggu saya berenang," ujar wanita yang selalu memangkas pendek rambutnya itu.
Ia menganalogikan pilihan berobat ke luar negeri sama dengan ketika orang-orang yang memiliki tingkat kesejahteraan di atas rata-rata membeli barang berdasarkan merek. "Orang-orang kaya punya pilihan, seperti halnya membeli tas. Meski fungsinya untuk menampung barang bawaan, harga tas bervariasi dari harga ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Semua tergantung selera dan isi kantong," katanya.
Menkes meyakini bahwa fasilitas dan pelayanan rumah sakit, terutama swasta di Indonesia tidak kalah dengan di Singapura. Apalagi, saat ini di sejumlah kota besar di Indonesia banyak dibangun rumah sakit swasta dengan fasilitas terbaik. Hanya sekarang pilihan terletak di tangan konsumen, apakah suka berobat di dalam negeri atau luar negeri.
"Soal fasilitas, kita tidak kalah, terutama rumah sakit swasta," katanya.
Endang Rahayu menyebutkan sejumlah alasan mengapa pasien-pasien Indonesia kemudian memilih berobat ke rumah sakit (RS) luar negeri, di antaranya pelayanan yang bagus, dokter dengan keahlian yang mumpuni, serta fasilitas penjemputan dari bandara yang dinilai sangat memudahkan.
"Fasilitas semacam penjemputan itu memang belum bisa diterapkan di RS Indonesia mengingat jumlah RS masih kurang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Namun, bukan hal mustahil di masa depan RS di Indonesia akan melakukan peningkatan pelayanan semacam itu," ujarnya.
Sementara itu, Suwandi Leo, Manajer Pemasaran Senior Divisi Pemasaran dan Pelayanan Parkway Health, mengatakan, sekitar 60 persen pasien yang dirawat di tiga rumah sakit milik Parway Health adalah orang Indonesia. Jumlah tagihan pasien rata-rata mencapai 6.500 dolar Singapura per orang dengan rata-rata masa rawat inap 3,7 hari.
Mereka serius menggaet pasien melalui kolaborasi yang disebut Singapore Medicine. Konsep tersebut bertujuan mengembangkan Singapura sebagai penghubung utama di Asia Pasifik untuk pelayanan kesehatan internasional. Karena sektor pariwisata menjadi andalan dunia usaha Singapura, Singapore Tourism Board (STB) atau Badan Pariwisata Singapura ikut memegang peran utama.
Singapore Medicine diluncurkan Menteri Kesehatan Singapura Khaw Boon Wan di Camden Medical Centre, beberapa waktu lalu. Sang Menteri langsung menyebutkan Indonesia sebagai pasar utama di samping Malaysia. Target pasien ke Singapura tahun 2012 mencapai satu juta orang atau lima kali lipat dari jumlah sekarang. Tahun 2002, sebanyak 200.000 orang asing berobat di Singapura.
"Diperkirakan, 30-40 persen di antaranya dari Indonesia," katanya.


Semua RS di Singapura menawarkan keunggulan layanan medis, mulai dari mekanisme penerimaan pasien, tata ruang dan interior ruang tunggu serta ruang perawatan, ketersediaan dokter spesialis, kecepatan dan kecermatan tindakan medis, hingga kemutakhiran teknologi. Sebagai industri jasa, mereka bersaing meyakinkan, merebut, dan menyenangkan hati pasien. (Tri Wahyuni)

Sumber : suarakaryaonline.com

Sabtu, 09 Juli 2011

Standar Baru Akreditasi Rumah Sakit

Kesadaran untuk hidup sehat, bagi masyarakat Indonesia sudah semakin meningkat. Pada masa sekarang ini, masyarakat jauh lebih kritis terhadap pelayanan kesehatan. Untuk itu, sebagai pusat pelayanan kesehatan, rumah sakit harus selalu meningkatkan kualitas pelayanannya.

Untuk itu, di gedung Kementerian Kesehatan di Kuningan Jakarta, ada sebuah bagian yang disebut Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). KARS adalah perpanjangan tangan dari Kementrian Kesehatan yang bertugas mengawasi dan menetapkan mutu pelayanan dan akreditasi rumah sakit.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah merdeka sejak 66 tahun yang lalu dan berpenduduk lebih dari 250 juta memiliki tak kurang dari 1650 buah rumah sakit.

Agar dapat mengatur rumah sakit sebanyak itu, maka diterbitkan lah Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 mengenai rumah sakit. Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai syarat-syarat mutu akreditasi rumah sakit oleh sebuah lembaga independen (yang disebut Komisi Akreditasi Rumah Sakit, disingkat KARS). Syarat-syarat mutu akreditasi rumah sakit tersebut menjadi ketentuan dalam memperoleh perpanjangan ijin operasional sebuah rumah sakit. Dalam undang-undang tersebut, tanpa kecuali, setiap rumah sakit harus memenuhi syarat dan ketentuan serta melewati proses akreditasi sebelum bisa dinyatakan lulus dan mendapatkan perpanjangan ijin operasionalnya.

Akreditasi rumah sakit di Indonesia berarti pemerintah mengakui bahwa rumah sakit tersebut telah memenuhi semua standar mutu yang telah ditetapkan. Pada tahun 1995 KARS telah membuat ketetapan mengenai adanya tiga jenjang kelengkapan untuk akreditasi rumah sakit yaitu:
  1. Jenjang pertama terdiri dari 5 unit kerja sebagai syarat kelengkapan mutu pelayanan
  2. Jenjang kedua terdiri dari 12 unit kerja sebagai syarat kelengkapan mutu pelayanan
  3. Jenjang ketiga terdiri dari 16 unit kerja sebagai syarat kelengkapan mutu pelayanan
Setiap rumah sakit diperbolehkan memilih satu dari ketiga jenjang tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sendiri. Setelah pengajuan akreditasi rumah sakit, KARS akan mensurvei rumah sakit tersebut dan kemudian menentukan apakah rumah sakit tersebut lulus akreditasi secara penuh, lulus bersyarat atau tidak lulus. Akreditasi rumah sakit model ini berdasarkan pada performa unit kerja, oleh karena itu diharapkan integrasi semua unit kerjanya masing-masing memenuhi standar. Akreditasi rumah sakit dapat ditingkatkan jika telah memenuhi standar yang ditetapkan KARS.

Saat ini KARS sedang memperbaharui standar akreditasi rumah sakit berdasarkan standar akreditasi rumah sakit dari Joint Committee International yang telah digunakan secara luas di hampir seluruh dunia. Rencananya standar akreditasi rumah sakit terbaru itu akan mulai digunakan pada awal tahun 2012. Standar baru akreditasi rumah sakit ini tidak lagi berdasarkan pada 16 syarat unit kerja yang ada di sebuah rumah sakit, melainkan dibagi menjadi 2 kelompok standar pelayanan yang berkonsentrasi pada pasien serta manajemen rumah sakit dan 2 kelompok sasaran yaitu keselamatan pasien rumah sakit serta millenium development goals. Jika standar akreditasi rumah sakit yang lama lebih menyoroti outcome dan siklus PDCA, maka standar akreditasi rumah sakit yang baru ini lebih menggarisbawahi pada proses.

Jumat, 08 Juli 2011

Revisi Panduan Akreditasi Rumah Sakit Terbaru

Panduan akreditasi rumah sakit terbaru telah ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan pada tanggal 1 Januari 2008. Seperti sistem akreditasi rumah sakit yang lama, versi baru tersebut berisi pokok-pokok standar pelayanan dengan beberapa tambahan dan penyesuaian.

Revisi atau perbaikan dalam panduan akreditasi rumah sakit tersebut dilakukan agar dapat menyesuaikan dengan keadaan di masa sekarang, dimana pelayanan rumah sakit yang memenuhi standar sangat dibutuhkan. Selain itu, ada pula tambahan pasal mengenai indikator penilaian tentang hal hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien rumah sakit (patient safety)– dimana pada panduan akreditasi rumah sakit versi lama, hal tersebut tidak dijelaskan secara rinci.

Pada panduan akreditasi rumah sakit versi baru, standar dan sistem keselamatan pasien rumah sakit diterapkan antara lain melalui catatan kejadian kejadian yang berpotensi menimbulkan cedera serta melalui standar pemeriksaan peralatan pendukung perawatan.

Sebagai contoh misalnya adalah outlet oksigen yang biasanya terdapat di ruang pasien. Outlet oksigen tersebut harus diperiksa secara berkala untuk menghindari masalah seperti macet saat harus digunakan, dimana hal tersebut dapat sangat membahayakan keadaan pasien. Dalam sistem akreditasi rumah sakit terbaru tersebut, penyusunan indikator penilaian mengenai sistem keselamatan pasien dilakukan dengan standar keselamatan pasien rumah sakit menurut WHO (the World Health Organization) sebagai acuan.

Akreditasi rumah sakit atau pengakuan pemerintah akan sebuah sarana kesehatan yang memenuhi standar yang telah ditentukan tersebut harus dilaksanakan secara rutin. Setiap rumah sakit yang lulus akreditasi (dengan penilaian rata-rata 75 % atau lebih) akan diperiksa ulang standar akreditasinya setiap tiga tahun, sedangkan setiap rumah sakit yang lulus akreditasi bersyarat (dengan skor 60 % sampai 75 %) atau tidak lulus akreditasi (dengan skor di bawah 60 %) uji akreditasi akan dibina serta akan diperiksa ulang satu tahun sesudah pemeriksaan standar akreditasi pertama.

Pelaksanaan akreditasi rumah sakit tersebut, serta tugas tugas yang terkait dengan pelaksanaan itu, dilakukan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit dan Sarana Kesehatan (KARS). KARS sendiri terdiri dari para ahli dalam bidang perumahsakitan. Komisi ini berkantor di gedung Kementrian Kesehatan di daerah Kuningan, Jakarta  Selatan. KARS bertugas untuk mengawasi dan menetapkan mutu pelayanan rumah sakit. KARS melaksanakan tugas tugasnya yang berhubungan dengan akreditasi rumah sakit, yaitu antara lain membantu menyiapkan akreditasi rumah sakit, melakukan survei dan menyampaikan laporan hasil survei serta memberi rekomendasi kepada Menteri Kesehatan.

Setelah itu, Kementrian Kesehatan selanjutnya akan menetapkan hasil akreditasi rumah sakit tersebut berdasarkan usulan KARS. Pada akhir 2007, Kementrian Kesehatan juga telah menetapkan pelaksanaan penyelesaian penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit. SPM Rumah Sakit tersebut berisi mengenai panduan pelaksanaan standar pada pelayanan rumah sakit termasuk pelayanan pada bagian gawat darurat, rawat inap dan rawat jalan, persalinan, pembedahan sentral, radiologi, internis, rehabilitasi medik, gizi, farmasi, transfusi darah, rekam medis, serta pengelolaan limbah rumah sakit dan pemeliharaan sarana rumah sakit. Akreditasi rumah sakit dan SPM rumah sakit versi baru tersebut ditetapkan untuk dapat meningkatkan kualitas serta kinerja pelayanan rumah sakit.

Minggu, 03 Juli 2011

ADMINISTRASI DAN PENGELOLAAN INSTALASI PATOLOGI KLINIK

Tugas Pokok Instalasi Patologi Klinik Rumah Sakit : Menyelenggarakan pelayanan jasa  laboratorium klinik dengan memeriksa spesimen yang berasal dari tubuh manusia.

Administrasi yang harus dimiliki :

Pencatatan spesimen : Semua bahan yang diterima akan dicatat akan diberi identifikasi dan dicatat di buku register yang terdapat pada setiap subinstalasi.
Buku register : Buku register berada di setiap sub instalasi dan berisi data nama, asal ruangan , tanggal diterima, jenis tes serta hasil yang diperoleh, serta dokter konsulen yang bertugas pada hari tersebut. Data tiap bahan,  pemeriksa dan keadaan sampel tertera dalam buku kerja masing-masing tehnisi.
Rekapitulasi : Rekapitulasi dilakukan setiap akhir hari kerja, diketahui oleh dokter konsulen hari tersebut.


PENYIMPANAN ARSIP CATATAN  KEGIATAN
  1. Arsip adalah catatan lengkap dari penderita dan bahan pemeriksaan hingga hasil laboratorium yang diperiksa di Instalasi Patologi Klinik. Arsip tercatat pada buku register yang ada di setiap Sub Instalasi.
  2. Arsip disimpan selama 1 tahun di setiap Sub Instalasi masing-masing kecuali arsip khusus (lihat buku Sub Instalasi).
  3. Pemantauan dan evaluasi dilakukan tahunan oleh staf masing-masing Sub Instalasi.
  4. Arsip formulir hasil pemeriksaan disimpan di bagian pengambilan hasil.


Rabu, 08 Juni 2011

Pelatihan Akreditasi Rumah Sakit Sepropinsi Kalimantan Barat


Hari : senin-rabu
Tanggal : 6 - 8 Juni 2011


Ibu Ida Suaedah, S.Kp
Narasumber KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit)
Untuk Instrumen Pelayanan Keperawatan


Nah,,,,, yang ini peserta pelatihan akreditasi Rumah Sakit perwakilan dari
RSUD dr. Agoesdjam Ketapang
(Fina Yurfia, S.kp, Ns, Kurniawati, SKM dan dr. Widi Mujono)
lagi berfose dengan GUS PUR ( dr. Handojo, MPH)


sambil menunggu peserta lain yang lagi rehat kopi,,,,,,
foto-foto dulu ah,,,,,, smile,,,


dr. Handojo, M.PH (GUS PUR)
sedang memberikan materi mengenai konsep dasar Akreditasi Rumah sakit, Instrumen Pelayanan Administrasi dan manajemen serta Pelayanan Rekam Medik


Exis,,,,,, di meja makan,,,,,, saat rehat kopi


Suasana keakraban saat makan siang di ruang makan Asrama Haji Pontianak


Foto bareng ama Gus pur (dr. Handoyo, M.PH)
Narasumber KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit)


Berbagi pengalaman dengan rumah sakit yang sudah terakreditasi
megenai langkah-langkah persiapan akreditasi RSUD Dr. Soedarso Pontianak
Oleh ibu Martha Enne, S.PD, MM



Bimbingan akreditasi instrumen pelayanan medik dan gawat darurat
dengan narasumber dr. Djoni Darmadja SpB, Mars di dampingi oleh dr. Yanti



Peserta pelatihan akreditasi Rumah Sakit se Propinsi Kalimantan Barat

Jumat, 20 Mei 2011

ACCESS TO SERVICES AND CONTINUITY SERVICE PART 2

Standard WFA 1.1.Hospitals have standard procedures for admissions and for outpatient registration.
The aims and objectives WFA 1.1.Admission of inpatients to the hospital for care and for outpatient services registration distandarisir through written policies and procedures.
Element rating WFA 1.1.1. Policies and procedures used to standardize the way outpatient registration.2. Policies and procedures used to standardize the way patient enrollment.3. Policies and procedures include the reception of emergency patients to inpatient units.4. Policies and procedures include holding patients for observation.5. Policies and procedures covering the handling of patients in case of no available beds to service the destination.6. Written policies and procedures support the process of admissions and outpatient registration.7. Officials familiar with the policies and procedures and implement them.
GER Standard 1.1.1.Patients who require emergency or immediate palayanan be given priority for examination and treatment.
The aims and objectives GER 1.1.1.Patients with emergency conditions or require immediate service, identified by the process of triage. When you have been identified as an emergency, need immediate care, this patient will be examined and receive services as soon as possible. Patients were examined by a physician or individual who is able before the other patients, received a diagnosis service as soon as possible and given in accordance with the required treatment. Poses triage based on physiological criteria, where possible and appropriate. Train hospital staff to determine patients who require immediate care and how to give priority service. If the hospital can not provide the needs of patients with emergency conditions and to early referral of patients requiring a higher level, the patient must be stabilized before referenced.
Element 1.1.1 GER assessmentHospitals implementing the correct triage process for patients who require priority service.Staff are trained using the criteria.Patients are prioritized on the basis of the urgency of their needs.Emergency patients are reviewed and made stable before referenced.
GER Standard 1.1.2Patient's need for preventive care, palliative, curative and rehabilitative prioritized based on the patient's condition at the time of admission to hospital.

1.1.2 Purpose and objectives GERIf the patient is considered acceptable as hospital inpatients, screening examination to help staff / employee to decide whether patients need preventive care, palliative, curative and rehabilitative and choose the most appropriate service according to the urgency.
Element 1.1.2 GER assessment.1. Screening examination to help staff understand the services needed by patients.2. This type of service or units of services needed, based on screening results.3. Patients' needs with respect to preventive services, curative, rehabilitative and palliative priority.
GER Standard 1.1.3.Attention to the needs of hospital patients in the clinic waiting time or delay to diagnosis and treatment services.
1.1.3 Purpose and objectives GERPatients are informed if there are known to wait a long time for diagnosis and treatment services or in obtaining service plan requires placement on the waiting list. Patients were given information about the reasons for the delay and waited and given alternative information that can be obtained. Terms of service provided to inpatients or outpatients and diagnostic services and need not be given if only a short wait because the doctor came too late. For some services such as oncology or transplantation, the delay may be adjusted with the national norm for such services.
Element 1.1.3 GER assessment.1. Inpatients and outpatients will be informed if there is a delay of service or treatment.2. Patients are informed of the reasons the delay or wait and give information about the available alternatives according to their clinical needs.3. The information documented in medical records.4. Written policies and procedures to support the implementation of a consistent basis.
Standard WFA 1.2.In the inpatient admission, patients and their families receive an explanation of the intent and purpose of the service, expected results and the estimated cost of such services.
The aims and objectives WFA 1.2.At the time of admission process, patients and their families get an adequate explanation to make decisions regarding the recommended services. Explanations include the services proposed, the expected service and the estimated cost of such services. The explanation given to patients and their families or good decision maker for the patient to the security or personal expenses. If the financial situation is limited to the cost of services, hospitals find a solution to overcome this, the explanation may be in written form or orally and recorded in the status of the patient.
Element rating WFA 1.2.1. Patients and their families are given an explanation at the time of admission.2. Explanations include an explanation of the intent and purpose of service.3. Explanations include an explanation of the expected service.4. Explanations include an explanation of the estimated cost to the patient and shortcomings.5. Sufficient explanation to patients and their families to make decisions.
Standard WFA 1.3.Hospitals try to reduce the physical barriers, language and culture and other barriers in providing services.
The aims and objectives WFA 1.3.Hospitals often serve different populations. Maybe old patient, physical disability, speak with various languages ​​and dialects, different cultures or any other barriers that make the process of giving and receiving of services becomes difficult. Hospitals have identified these difficulties and has implemented processes to reduce and eliminate obstacles at the time of acceptance. The hospital also seeks to reduce the impact of these barriers in providing services.
Element rating WFA 1.3.1. Leadership and hospital staff to identify barriers that exist populated patients.2. There are procedures to address or limit the time constraints on patient acceptance.3. There are procedures to address the impact of barriers in providing services.4. This procedure has been implemented.
Standard WFA 1.4.Admission or transfer patients to and from the intensive care unit or special care is determined by criteria established.
The aims and objectives WFA 1.4.Units or services that provide intensive services such as post-operative intensive care units or who provide specialized services such as care for burns patients or organ transplant is generally expensive and usually limited space and staff. Similarly, the department / emergency units equipped with beds for observation and clinical research unit must perform appropriate patient selection. Each service shall create and establish criteria for patients who will receive. Appropriate staff of emergency, intensive care and special services to participate in developing criteria. These criteria are used to provide direct entry into service units, eg the patient directly from the emergency services. Criteria are also used to determine the transfer of patients from service units to another level of service both within and outside the hospital. Criteria are also used to determine if the patient does not require a long service and can be transferred to the level of other services. If the hospital to conduct research or provide services or special programs, the admission or transfer of patients into the program must be through the criteria or protocol. Activities admission and transfer of patients in the program are documented in the medical records included the patient's condition according to the criteria or protocol.
Element rating WFA 1.4.1. The hospital has set criteria for entry or moved out of intensive care or special services, including research and programs to fit the specific needs of patients.2. Criteria based on physiology and appropriate.3. Appropriate staff be included in the development of criteria.4. Staff trained to implement the criteria.5. Status of patients who are admitted into units that provide specialized or intensive services contain appropriate criteria for the services required.6. Status of patients who transferred in or out of units that provide specialized or intensive services include criteria that do not fit anymore in the unit.

ACCESS TO SERVICES AND CONTINUITY SERVICE

Hospitals should consider that the services at the hospital is part of an integrated service system with professionals in the field of health services and level of service that will build a continuity of service. The purpose and goal is to align the needs of patients in the field of health services with services available in hospitals, coordinating care, then return and plan further action. The result is to improve the quality of patient service and efficient use of available resources in the hospital. The information needed to make the right decisions about:
- Needs of patients which can be served by the hospital.
- Providing efficient service to patients.
- Transfer and repatriation of appropriate patients to home or to other services.


STANDARDS, PURPOSE AND OBJECTIVES, ASSESSMENT ELEMENTS
 
Admission TO HOSPITAL
Standard APK.1.
Patients received as inpatients or registered for outpatient services based on their health care needs have been identified and the mission and resources of existing hospitals.

 
Purpose and Objectives APK.1.
Adjust the patient's needs and resources with mission hospitals depend on the information gained about the needs of the patient and his condition through screening at the first contacts. Screening is carried out through triage criteria, visual evaluation or observation, physical examination or the results of physical examinations, psychological, laboratory or diagnostic imaging clinic earlier. Screening can occur disumber referral, patients were transported during emergencies or when the patient arrived at the hospital. It is very important that the decision to treat, send or refer only be made after a screening and evaluation results. Only hospitals that have the ability to provide services needed and consistent with its mission can be considered to receive inpatient or outpatient. If the hospital requires a screening or evaluation test data prior to acceptance and registration set forth in a written policy.

 
Assessment Element APK.1.

  1. Screening carried out at the first contact within or outside the hospital.
  2. Based on the screening result is determined whether the patient needs in accordance with the mission and hospital resources.
  3. Patients are only accepted if the hospital can provide the services needed by inpatients and outpatients with the right.
  4. There is a way to complement the results of diagnostic tests with respect to the responsibility to determine whether the patient received, transferred or in reconciliation 
  5. There are policies that specify that the screening and diagnostic test which is the standard prior to acceptance of patients.  
  6. Patients are not treated, transferred or referred prior to the required test results obtained as the basis for decision making.  

Kamis, 19 Mei 2011

Selasa, 17 Mei 2011

INFORMED CONSENT

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.
 

Saat untuk memberi informasi

        Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, dokter memiliki kewajiban untuk memberitahukan pasien mengenai kondisinya; diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, risiko, alternatif, prognosis dan harapan. Dokter seharusnya tidak mengurangi materi informasi atau memaksa pasien untuk segera memberi keputusan. Informasi yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.Add content to your paragraph here.

Elemen-elemen Informed consent

Suatu informed consent harus meliputi :
  1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
  2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
  3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila penyakit tidak diobati
  4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi
Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
 

Ruang Lingkup Pemberian Informasi

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.
Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya pasien.
        Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah  dilakukan inkonklusif. 

HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN

Hasil Pemeriksaan

Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
 Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
 Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
 Rujukan/ konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
 Prognosis
            Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed consent

Standar Pengungkapan Yang Dikembangkan Oleh Pengadilan

Dua pendekatan diadaptasi oleh pengadilan dalam menggambarkan lapangan kewajiban pengungkapan seorang dokter - standar pengungkapan profesional, standar pengungkapan umum, atau standar pasien secara layak.
Di bawah standar pengungkapan profesional, tugas dokter untuk membuka rahasia diatur oleh standar pelaku medis, dilakukan di dalam lingkungan yang sama atau serupa. Standar pengungkapan ini yang diatur seterusnya baik oleh undang-undang maupun hukum umum pada mayoritas peraturan Amerika Serikat menetapkan bahwa seorang dokter harus memberi informasi sesuai dengan pelayanan kedokteran terkini. Banyak pengadilan telah menegakkan standar pelaksana medis dalam komunitas yang sama atau serupa, di bawah lingkungan yang sama atau serupa. Jika seorang dokter bertugas untuk mengungkapkan suatu fakta dan jika begitu, fakta apa yang wajib diberitahukan bergantung pada yang biasa dilakukan pada komunitas setempat.
Standar pengungkapan umum atau standar pasien secara layak, yang ditetapkan seterusnya oleh undang-undang atau hukum umum dalam peraturan minoritas yang bermakna, membebankan tugas pada dokter untuk memberitahu setiap informasi yang akan bergantung pada proses pembuatan keputusan oleh pasien. Hal ini berbeda-beda sesuai kemampuan pasien untuk memahaminya. Bahkan dalam pengakuan medis ahli yang mendukung, seseorang dapat saja melanggar standar pengungkapan yang seharusnya dalam peraturan ini jika juri berkesimpulan bahwa informasi spesifik yang tidak diberitahukan akan berpengaruh bermakna terhadap keputusan pasien apakah akan menjalani terapi tertentu atau tidak. Standar umum membiarkan juri untuk memutuskan apakah dokter memberikan informasi yang cukup pada pasien untuk membuat pilihan terhadap tatalaksana, sedangkan standar profesional membiarkan dokter untuk menunjukkan apakah ia memberikan informasi yang cukup sesuai standar pelayanan medis dalam komunitas tersebut. Perkembangan terkini adalah pengadilan yang mengadaptasi bentuk standar umum.
Sekali telah ditegakkan, baik oleh standar profesional atau umum, bahwa pasien tidak menerima informasi yang biasanya dibutuhkan untuk membuat pilihan bijak mengenai apakah akan menolak atau menyetujui terapi, pengadilan akan memperhatikan materi dari informasi yang kurang tersebut; yaitu akankah seseorang menolak atau menyetujui jika berada dalam lingkungan yang sama atau serupa. Dengan kata lain, apakah kurangnya informasi menyebabkan kecacatan/kerugian yang memang sudah diduga atau akankah pasien tetap menyetujuinya dalam keadaan apapun. Tergantung dari peraturan yang terlibat, pengadilan telah menetapkan satu dari dua standar yaitu standar objektf (juri memutuskan apakah pasien dalam keadaan serupa akan menolak terapi) atau standar subyektif (juri memutuskan apakah pasien yang sebenarnya akan menolak terapi). Kebanyakan peraturan  mengikuti standar objektif.

Siapa yang mengungkapkan ?

Siapa yang bertanggungjawab untuk mendapatkan informed consent pasien - pengadilan umumnya telah menempatkan tugas ini pada dokter yang didatangi pasien pada waktu ada pertanyaan. Pengadilan umumnya mengenali bahwa dokter, bukan perawat atau paramedis lainnya, berkemampuan untuk mendiskusikan tatalaksana dan penanganannya. Perawat atau paramedis lainnya mungkin hanya penambah atau pelengkap informasi spesifik dari dokter dengan informasi umum tergantung situasi pasien. Dokter, selain dari dokter pertama pasien, memiliki kewajiban yang independen untuk memberi informasi mengenai risiko, keuntungan, dan alternatif pilihan yang ditujukan padanya.
Pengadilan sangat jelas dalam opini tertulisnya bahwa tanggung jawab untuk memperoleh informed consent dari pasien tetap dengan dokter dan tidak dapat didelegasikan. Dokter dapat mendelegasikan otoritasnya (wewenangnya) untuk memperoleh informed consent kepada dokter lain namun tidak dapat mendelegasikan tanggung-jawabnya untuk mendapatkan informed consent yang tepat.

Peranan Rumah Sakit

            Pertanyaan yang sering muncul, terutama dari dokter yang berpraktek di rumah sakit adalah ”Apakah rumah sakit memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa pasien menerima informasi yang cukup meskipun pengadilan telah menempatkan tugas primer kepada dokter?”
            Dalam teori respondeat superior, manajer rumah sakit dapat ditahan dengan dokter pegawai rumah sakit yang lalai untuk memperoleh informed consent yang dapat menimbulkan kecacatan dan kegawatan pada pasien. Kebijakan rumah sakit harus mengatur mengenai bagaimana informed consent diperoleh. Perawat atau petugas rumah sakit lainnya harus menunda terapi yang sudah direncanakan dokter jika persetujuan yang sebelumnya sudah diberikan ditarik kembali oleh pasien, sehingga dokter dapat mengklarifikasi kembali keputusan pasien. Pengadilan cenderung untuk menjatuhkan kewajiban yang lebih ketat kepada rumah sakit untuk memastikan bahwa dokter memperoleh persetujuan/penolakan sebelum melakukan tindakan.

Bentuk Persetujuan/Penolakan

Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat. Istilah untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu ”fraudulent concealment”. Pasien yang akan menjalani operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter lain dapat saja menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed consent dan dapat menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.
Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.
Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis pasien. Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed consent. Informed consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh dokter yang bersangkutan.
 

Otoritas Untuk Memberikan Persetujuan

Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien.
Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi dengan satu atau beberapa sejawatnya.
Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga, maka dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika tidak ada dilarang undang-undang.
Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.
 

Kemampuan Memberi Perijinan

Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan terkait dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana tidak menggambarkan kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan pengganti.
Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.
 

Pengecualian terhadap materi pemberitahuan

Terdapat empat pengecualian yang dikenal secara umum terhadap tugas dokter untuk membuat pemberitahuan meskipun keempatnya tidak selalu ada.
Pertama, seorang dokter dapat saja dalam pandangan profesionalnya menyimpulkan bahwa pemberitahuan memiliki ancaman kerugian terhadap pasien yang memang dikontradiinkasikan dari sudut pandang medis. Hal ini dikenal sebagai ”keistimewaan terapetik” atau ”kebijaksanaan profesional”. Dokter dapat memilih untuk menggunakan kebijaksanaan profesional terapetik untuk menjaga fakta medis pasien atau walinya ketika dokter meyakini bahwa pemberitahuan akan membahayakan atau merugikan pasien. Tergantung situasinya, dokter boleh namun tidak perlu membuka informasi ini kepada keluarga dekat yang diketahui.
Kedua, pasien yang kompeten dapat meminta untuk tidak diberitahu. Pasien dapat melepaskan haknya untuk membuat informed consent.
Ketiga, dokter berhak untuk tidak menyarankan pasien mengenai masalah yang diketahui umum atau jika pasien memiliki pengetahuan aktual, terutama berdasarkan pengalaman di masa lampau.
Keempat, tidak ada keharusan untuk memberitahu pada kasus kegawatdaruratan dimana pasien tidak sadar atau tidak mampu memberikan persetujuan sah dan bahaya gagal pengobatan sangat nyata.

Kasus Kegawatdaruratan dan Informed Consent

Umumnya, hukum melibatkan persetujuan pasien selama keadaan gawat darurat. Pengadilan biasanya menunda pada keadaan-keadaan yang membutuhkan penanganan segera untuk perlindungan nyawa atau kesehatan pasien karena tidak memungkinkan untuk memperoleh persetujuan baik dari pasiennya maupun orang lain yang memegang otoritas atas nama pasien. Pengadilan mengasumsikan bahwa seorang dewasa yang kompeten, sadar, dan tenang akan memberikan persetujuan untuk penanganan menyelamatkan nyawa. Penting untuk didokumentasikan keadaan yang terjadi saat gawat darurat. Pada keadaan tersebut, dokter harus mencatat hal-hal berikut ini : 1) penanganan untuk kepentingan pasien, 2) terdapat situasi gawat darurat, 3) keadaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan persetujuan dari pasien atau dari orang lain yang memegang otoritas atas nama pasien.
Kenyataan bahwa tatalaksana yang diberikan mungkin memang disarankan secara medis atau mungkin akan berguna di waktu mendatang tidaklah cukup untuk melakukannya tanpa persetujuan. Jika dokter tidak yakin apakah kondisi pasien betul-betul membutuhkan tindakan segera tanpa persetujuan, maka dokter tersebut perlu melakukan konfirmasi dengan sejawatnya.
        Peraturan umum terkait persetujuan penanganan keadaan gawat darurat pada seorang anak sama saja dengan orang dewasa. Pengadilan biasanya menunda menyetujui dokter yang mengobati pasien anak “dewasa muda” (di atas 15 tahun) yang sudah dapat memberi persetujuan penanganan keadaan gawat darurat terhadap dirinya. Namun, tetap perlu diperhatikan untuk membuat informed consent dengan menghubungi orang tua pasien atau orang lain yang bertanggung jawab atas pasien tersebut.

Jumat, 13 Mei 2011

Format Draft Standart Akreditasi Rumah Sakit Revisi 2011

KELOMPOK STANDAR PELAYANAN BERFOKUS PADA PASIEN
BAB 1. AKSES KE PELAYANAN DAN KONTINUITAS PELAYANAN (APK)
BAB 2. HAK PASIEN DAN KELUARGA (HPK)
BAB 3. ASESMEN PASIEN (AP)
BAB 4. PELAYANAN PASIEN (PP)
BAB 5. PELAYANAN ANESTESI DAN BEDAH (PAB)
BAB 6. MANAJEMEN DAN PENGGUNAAN OBAT (MPO)
BAB 7. PENDIDIKAN PASIEN DAN KELUARGA (PPK)

KELOMPOK STANDAR MANAJEMEN RUMAH SAKIT


BAB 1. PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN (PMKP)
BAB 2. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI)
BAB 3. TATA KELOLA, KEPEMIMPINAN, DAN PENGARAHAN (TKP)
BAB 4. MANAJEMEN FASILITAS DAN KESELAMATAN (MFK)
BAB 5. KUALIFIKASI DAN PENDIDIKAN STAF (KPS)
BAB 6. MANAJEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMASI (MKI)

SASARAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT SASARAN

I. KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN SASARAN
II. PEINGKATAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF SASARAN
III.PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DIWASPADAI SASARAN
IV.KEPASTIKAN TEPAT LOKASI,TEPAT PROSEDUR, TEPAT PASIEN OPERASI SASARAN
V. PENGURANGAN RISIKO INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN SASARAN
VI. PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH






Sumber : http://akreditasi.web.id/

Rabu, 11 Mei 2011

Contoh TOR keselamatan Pasien di Rumah Sakit Bag. 2


EVALUASI PELAKSANAAN KEGIATAN & PELAPORANNYA.
  • Setiap bulan Tim KPRS melakukan evaluasi “pelaksanaan” kegiatan KPRS di unit kerja
  • Setiap 3 bln Tim KPRS membuat laporan pelaksanaan kegiatan KPRS  ke Direktur RS melalui Ketua Komite Medis

PENCATATAN, PELAPORAN & EVALUASI KEGIATAN
  1. Unit kerja wajib mencatat KTD/KNC & melaporkan ke Tim KPRS dng menggunakan form lap insiden
  2. Tim KPRS menganalisa lap unit, membuat lap ke Direktur & “menyiapkan” lap ke PERSI
  3. Evaluasi program KPRS dilaksanakan setiap akhir tahun. Evaluasi dilakukan utk melihat pencapaian sasaran & perencanaan tahun depan   
Sumber (Dr. Luwiharsih,MSc KOMISI AKREDITASI RUMAH SAKIT)
DISAMPAIKAN PADA :SEMINAR INSTRUMEN AKREDITASI RUMAH SAKIT VERSI TAHUN 2007 JAKARTA, 26 APRIL 2008

Selasa, 10 Mei 2011

Contoh TOR keselamatan Pasien di Rumah Sakit Bag. 1

PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan pasien sesuai dengan yg diucapkan Hiprocrates kira-2 2400 th y.l yi : Primum, non nocere (First, do no harm). Dengan berkembangnya iptek kedokteran,  ilmu kedokteran yg dahulu sederhana, inefektif dan relatif aman, menjadi semakin kompleks & lebih efektif  namun berpotensi terjadinya KTD pada pasien, bila rumah sakit tidak memperhatikan keselamatan pasien.

LATAR BELAKANG (Justifikasi kenapa program perlu dilakukan)
Di Rumah Sakit terdapat bermacam obat, bermacam test & prosedur, bermacam alat dng teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi & non profesi yg siap memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus. Keberagam dan kerutinan pelayanan tsb apabila tidak di kelola dng baik rawan terjadinya KTD. Walau data KTD belum ada di RS, namun Rumah Sakit memandang perlu untuk melaksanakan Program Keselamatan Pasien di Rumah Sakit  karena dng meningkatnya KPRS diharapkan kepercayaan thd yan RS dpt pula meningkat.

TUJUAN
UMUM
Meningkatkan mutu layanan RS  melalui suatu sistem dimana RS membuat asuhan pasien lebih aman
KHUSUS
  1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
  2. Meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien & masyarakat
  3. Terlaporkannya KTD & KNC di RS
  4. Terlaksananya program pencegahan sehingga KTD tidak terulang

KEGIATAN POKOK & RINCIAN KEGIATAN
Kegiatan pokok :      
Memenuhi Standar Keselamatan Pasien RS yg tertuang dalam Instrumen Akreditasi RS Rincian kegiatan :
  1. Menyusun kebijakan tentang DPJP
  2. Menyusun bijak & prosedur ttg koordinasi yan & transfer info antar profesi kesehatan
  3. Melakukan pencatatan, pelaporan, evaluasi, analisis & tindak lanjut dari KTD & KNC
  4. Menyelenggarakan diklat utk KPRS    
CARA MELAKSANAKAN KEGIATAN
  1. Membentuk TIM Keselamatan Pasien RS (KPRS)
  2. Pelatihan KPRS
  3. Rapat Tim KPRS  untuk :
  4. Menyusun kebijakan & prosedur KPRS
  5. Menyusun form utk pencatatan & pelaporan KTD & KNC
  6. Melakukan analisa masalah bila ada KTD/KNC
  7. Melakukan perencanaan kegiatan, dll
  8. Rapat koordinasi, dll
SASARAN (SMART & lihat rincian kegiatannya)
  1. Tercapainya 75 % pencatatan & pelaporan KTD pada bulan Desember 2008
  2. Tercapainya 50 % pencatatan & pelaporan KNC pada bulan Desember 2008
  3. Terselenggaranya pelatihan KPRS setiap 6 bl pada tahun 2008
  4. Tersusunnya 100 % kebijakan DPJP  pd th 2008
  5. Tersusunnya 100 % kebijakan & prosedur  ttg koordinasi yan & transfer info.

Sumber (Dr. Luwiharsih,MSc KOMISI AKREDITASI RUMAH SAKIT)
DISAMPAIKAN PADA :SEMINAR INSTRUMEN AKREDITASI RUMAH SAKIT VERSI TAHUN 2007 JAKARTA, 26 APRIL 2008





 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes